Rabu, 16 Maret 2011

Warna # 03 Nuvickha

Sore kemilau Bangkalan ceria. Langit cerah di kotaku memang selalu bersemangat; panas meluap-luap.

Aku dan bunda tengah menyiram bunga di halaman depan ketika sebuah mobil Nissan Terrano warna silver meluncur gagah membelah udara jalanan komplek, berbelok ke arah matahari condong dan berhenti pasti di depan rumahku. Seorang bapak berpakaian dinas keluar dari pintu depan sebelah kiri, dan berturut-turut di belakangnya seorang ibu dengan penampilan yang mengkhianati umur, diikuti anak perempuan seumuranku.
Bapak tadi mengucap salam. Bunda menjawabnya. Dia memperkenalkan diri, bunda menaggapi. Mereka adalah penghuni baru rumah elit yang hadap-menghadap dengan rumahku.

“.., dan ini putri kami, Nuvicka Putri Koneng,” kata bapak tadi setelah terlebih dahulu memperkenalkan diri dan istrinya yang agak angkuh. Ya, agak angkuh. Kukatakan demikian karena nyata sekali pada mukanya yang dipoles kosmetik ternama itu terbaca jelas ketinggian egonya; “aku ini istri anggota dewan nomor satu di Bangkalan,” begitu kurang lebih isi pengumuman abstrak yang tak tertulis di dahinya. Dia menjabat tangan bunda setengah hati. Dan ketika menyalamiku, kurasa benar dia tiada bernafsu sama sekali. Pada tangan yang halus itu, aku berani bertaruh bahwa istri seperti ini tidak pernah sekali pun memasak untuk suaminya. Gambaran seluruh wanita penghobi shopping dan suka keluar masuk salon teralamatkan pada istri pejabat ini.

“Ailie. Selamat datang , sahabat, semoga betah di tempat tinggal barumu.” Aku, secara antusias menjulurkan tangan sambil melepas senyum terindah yang aku miliki. Senyum yang sebelumnya selalu tersimpan dalam kotak rahasia di dasar hati terdalamku, hari ini, kupersembah khusus untuk calon sahabat baruku.

Beberapa saat aku menunggu. Satu detik, dua detik, tiga detik, tapi yang ditunggu diam tak berdrik. Celaka! Nuvicka tidak merespon. Udara di sekelilingku serasa mendingin. Nuvicka diam membeku.

Aku hampir menarik kecele tanganku sembari menelan lumpuh senyum ketika Nuvicka, dengan ragu-ragu, pelan, antara YA dan TIDAK, menerima juga iktikad baikku. Namun kali ini aku harus kembali menelan pil kecewa karena ia hanya menampakkan ekspresi datar, biasa-biasa saja, tanpa sepotong katapun. Senyumku tak berbalas.

“Nah, Ibu, bolehlah kapan-kapan main kerumah kami,” ujar bapak tadi menawarkan, “selaku orang baru, tentu ada banyak hal yang tidak kami ketahui di permukiman ini.”

“Wah, sebuah kehormatan. Terima kasih, Pak, akan saya pertimbangkan.” Aku mendahului bunda. Beliau memelototiku sayang mengisyaratkan aku tidak sopan.

Si bapak tersenyum, sedang istrinya bersungut-sungut ketus. Aku melirik Nuvicka. Ia masih juga membatu, tak bereaksi barang seujung kuku pun. Sulit sekali kuterjemahkan kekakuan ekspresinya. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang demikin ahli menyamarkan rasa, membuang jauh ketempat-tempat terabaikan, hilang, tidak ada yang peduli.

“Baiklah, sepertinya kami masih harrus sedikit berkemas. Mari, Bu.”

Ketiganya kembali ke mobil. Tepat satu langkah sebelum menyentu handle mobil, Nuvicka menatapku, dalam, seolah ingin mengungkapkan sesuatu tapi semuanya berlalu tanpa ada kata. Pada wajahnya yang selalu dan nampak acuh, misteri perasaannya, rambut hitamnya yang panjang dan bergelombang, adalah bagian warna-warna kelabu yang menerpaku dua tahun silam. Semuanya masih samar sampai di kemudian hari.

http://fourcebbing.blogspot.com/