Kamis, 03 Juni 2010

Warna # 01 SMS Pelangi

Handphone-ku menjerit genit. Panggilnya meminta untuk diambil. Kurogoh cemas tas hello kitty di meja belajar yang menghadap kejendela dengan latar rintik hujan dan bias cahaya di ujung penglihatan yang membentuk garis pelangi di atas komplek perumahan orang-orang angkuh. Kudapati pada layar LCD 16 juta warna itu satu pesan asing masuk.

Kubuka, begini tulisannya:

087851042XXX
24-jan-2009 16:30:17
Melalui pelangi, kukirim
Salam kenal dari kejauhan,
Salam hangat-hangat kuku persahabatan.

Canggih, diplomatis, menggelitik.
Kontan saja, demi membaca pesan itu, aku yang hendak merebahkan tubuh karena capai baru pulang les, langsung melonjak duduk. Aku tersenyum heran membaca susunan kalimat dari rangkaian kata-kata tanpa singkatan lazimnya ‘perajin SMS’ berkabar berita.

Ajaib benar.

Jujur saja, aku yang anti handphone, tiba-tiba bersemangat. Sejenak aku terdiam mengejar ingatan, tenggelam menyelami lautan waktu lima minggu lewat. Saat itu dengan mudahnya aku membuang impian—yang bagi kebanyakan remaja seumuranku sangat mengharapkannya—seperti menumpahkan embun di daun talas.
Katika teman kelasku merengek berminggu-minggu, meminta, merayu sampai mulut berbusa. Termuntah-muntah dengan kelakuan sendiri. Memaksa , mengancam, memenjarakan diri di kamar, tak mau makan, mengamuk serupa setan ke-jin-an. Aneh-aneh tingkah mereka. Tak ada anggin tak ada hujan tiba-tiba berlaku manis serupa kucing Persia. Berpolitik, bersiasat menghadapi orang tua mereka hanya untuk mendapatkan benda bernama handphone. Ya, mahkluk asing merepotkan dari planet pengetahuan. Aku yang tidak melakukan apa-apa justru dijatuhi meteor luar angkasa; pelanet minor menakutkan.

“Ailie nggak butuh handphone, Bunda.” Tolakku waktu itu.

Tidak butuh? Ganjil sekali. Sebuah keputusan nyeleneh. Bukankah handphone sudah menjadi pegangan wajib? semacam trensetter, gaya hidup era kekinian,. Benda yang secara tidak langsung telah menyesakkan unsur budaya baru dewasa ini, dimana jarak hanya sejauh tombol pada keypad, dan waktu hanya dibedakan kecepatan jempol.
Kalau kita buka buku sejarah, maka sahabat akan menemukan kapak genggam zaman megalitikum. Pada masa kerajaan nusantara, dulu, para patihnya selalu siap sedia keris di belakang. Dan sekarang, di republik tercinta ini, jika diambil secara acak pada sepuluh orang generasi mudanya, bisa dipastikan, hampir seluruhnya—dimana pun, kapan pun—selalu membawa handphone.

“Sayang…..” Suara Bunda lembut menanggapi penolakanku.

“Setiap kali Bunda pergi keluar kota untuk mengurusi butik atau keperluan bisnis, Bunda selalu mencemaskanmu, nak. Terkadang ada kalanya Bunda rindu tiba-tiba. Kalau rasa itu telah memuncak, bagaimana bunda harus menghubungimu? Telepon rumah? Bukankah Ailie tak pernah mau mengangakt telepon.” Bunda memelas meminta pengertianku. Tapi aku hanya diam, kukuh dengan keinginan sendiri, karena saat ini aku memang benar-benar tidak membutuhkan handphone. Bagaimana tidak, bagiku, benda bersuara itu sangat mengganggu. Belum lagi, pernah kubaca, disetiap sudut alat komunikasi nan canggih itu menyimpan miliaran kuman, bahkan lebih parah dari kloset.

“Mau, ya…?” Bunda terus merayu—tepatnya memaksa, tapi aku belum takluk.

Kuamati wajah beliau berubah aneh. Sayu, memelas, bibirnya manyun. Bukan main akting Bunda. Aku jadi geli sendiri melihatnya. Tapi sungguh, jauh dari dasar hatiku yang terdalam, aku gerimis. Ada semacam geteran menyentuh. Betapa bunda menyayangiku.
Sejak ayah meninggal enam tahun lalu akibat komplikasi penyakit, Bunda menjadi single parent luar biasa, bekerja keras demi mencukupi kebutuhanku. Kasih sayang beliau tiada putus, terkumpul dalam kasih sayangnya.

“Mau ya, sayang? Ulang Bunda seolah aku tadi tak mendengar. Rayuan Bunda meruntuhkan benteng pertahanan terakhirku. Aku luluh, tersenyum menatap Bunda. Kuraih tangan beliau lalu meletakkanya ke pipiku. Kurasakan aliran cinta kasihnya menjalar keseluruh sendiku, hangat.

“Terserah Bunda, deh.” Aku mengangguk kalah.

Bunda merapatkan bibirnya ke dahiku. Dikecupnya aku penuh kasih, lama. Entah mengapa kami sama-sama bisu. Hanya jiwa yang bersenandung, berkata lewat rasa. Indah, kami lebur dalam tangis.

Tiga hari tiga malam handphone baruku tak kusentuh. Dicharger pun tidak. Hanya sekali dua kulirik malas. Sampai saat ini pun aku masih bulum bisa berdamai. Bahkan hanya untuk menerima panggilan atau sekedar SMS-an aku merasa berat. Seperti gempa, jam belajarku sering terguncang setiap kali makhluk kecil itu berteriak. Bunyinya membuat telingaku ngilu. Istirahatku selalu terganggu. Ugh, bikin ill feel.
Belakangan, kesabaranku sudah berada di jurang minimum toleransi. Tanpa kompromi, aku mensilent nada pangil hapeku seharian lalu memasukannya dalam lemari setelah membenamkannya pada tumpukan pakaian. Agaknya sindrom phobiaku pada teman asing bernama handphone terlalu berlebihan karena baru mengambilnya pada keesokan harinya. Dan saat itu kudapati puluhan panggilan tak terjawab menumpuk. Semuanya dari Bunda, sehingga pada siang harinya ketika aku mengangkat pangilan beliau, aku diceramahi habis-habisan. Marah yang didasari rasa sayang, khawatir, dan rindu yang membuncah. Dari situ kuketahui bahwa menjadi anak kesayangan sering membuat orang tau tidak tenang.

Untuk selanjutnya, aku jera mensilent HP-ku. Walau telingaku ngilu tapi itu lebih baik dari pada harus membuat Bunda khawatir bila keluar kota.

Tapi kali ini berbeda, massage tadi membuatku bersemangat. Baterai handphone mentrasfer energi aneh ketubuhku yang hampir drop kehabisan tenaga oleh aktifitas hari ini.

Langsung kubalas dengan kata yang dipaksa-paksakan.

24-jan-2009 16:33:41
Dari kejauhan pula, kawan, kuisi teh hijau
dalam gelas persahabatan untuk kita minum bersama.

Tak lama, kuterima dari seberang sana.

087851042XXX
24-jan-2009 16:34:19
Oke. Mari bersulang.


Melalui rinai hujan yang berderai satu-satu, tujuh lengkung warna pelangi, bias redup cahaya tipis yang memasuki jendela kamar yang selalu dan sengaja kubuka, kunamai dia Pelangi. Perkenalan tanpa temu membuat satu kesan tak biasa: JANGAN MUDAH PERCAYA PADA ORANG ASING.

http://fourcebbing.blogspot.com/

3 komentar:

Bulan Sabit Jingga mengatakan...

you must be next andrea hirata! cerpen yang mudah dicerna oleh pembacanya, cerpen yang sarat kata kiasan seolah menunjukkan taraf keilmuan sang penulis yang seorang mahasiswa keguruan pada prodi bahassa dan sastra indonesia STKIP PGRI Bangkalan.

Dori mengatakan...

keren abizz cerpen nya ... aku tunggu cerita2 yang lainnya, aku hanya seorang yang gemar membaca apa yg ada di depan ku ... gimana sich cara menulis yang indah penuh dengan kata2 kiasan yg ennak dibaca...
www.td-informasi.blogspot.com

Sopie dj. Krai mengatakan...

terima kasih, tapi terlalu berlebihan.
aku masih dalam tahap belajar juga...