Senin, 13 Desember 2010

Warna # 02 Phonephobia

Namaku Luailie Julie. Tapi agar lebih akrab panggil saja Ailie, atau Baby seperti yang sering diucapkan sebagian teman-temanku. Karena penampakanku, kata mereka, memang begitu. Cute abis. Serius. Aku tidak sedang promosi atau berbangga diri, namun demikian adanya.

Aku seorang cebbing.(1) Dan dengan senang hati kukatakan: aku bangga berdarah asin. Tidak murni memang, karena bundaku asli Malang. Hanya ayahku saja yang keturunan utuh pulau garam. Tapi aku tidak ambil pusing dengan perkawinan silang kedua orang tuaku, karena nyatanya rumus-rumus seperti itu tidak mengurangi kecintaanku terhadap Madura, terutama Bangkalan, kota kelahiranku dan tempat tinggalku saat ini.

Aku anak pertama sekaligus terakhir. Terlahir dari keluarga yang tidak lagi direpotkan bagaimana dapur bisa mengepul. Walau bukan tergolong strata ekonomi super kaya, tapi tidak berlebihan kalau dikatakan sangat lebih dari berkecukupan. Sehingga wajar apabila beban moral yang kupikul sebagai anak sebiji mutiara membuatku dijejali kasih sayang melimapah, hidup mapan, dan segala macam kebutuhan terpenuhi.
Bagi mereka yang pernah merasakan hidup, terutama di usia remaja, yakni masa ambigu yang labil terhadap goncangan psikis, ledakan emosi, dan satatistik ego yang memuncak, ada kalanya sekecil apapun kejadian yang menerpa sering kali menjadi turning point yang besar pengaruhnya sebagai penentu terciptanya sebuah karakter. Berbagai pengalaman—baik atau buruk—mempunyi peluang
yang sama untuk diserap, mengendap, mengakar, dan menumbuhkembangkan kepribadian yang akan dibawa serta untuk kehidupan di kemudian hari. Dan tidak menutup kemungkinan, dari seluruh kesan yang diterima, setiap remaja akan mengalami perkembangan yang berbeda dengan individu lainnya.

Pengalaman mempengaruhi karakter.Hal itulah yang ingin kuceritakan.

Dulu, dua tahun yang lalu, ketika aku masih kelas 2 SMP, di luar pengaetahuan siapa pun, aku pernah mengalami peristiwa berat yang membuatku trauma berkepanjangan. Diserang kecemasan siang malam. Menguntit ke mana pun aku melangkah, membayangi di mana pun aku bertingakah. Dunia demikian sempit lantaran rasa ekstrim yang selalu ikut serta bersamaku. Menjelma menjadi diriku yang lain. Hidup dan tingal sebagai parasit. Sesekali meluap kepermukaan mengausai aku yang sesungguhnya.
Sejatinya aku mau tutup mulut saja atas kejadian yang menimpaku. Kuperam dan kunikmati sendiri kegetirannya mungkin lebih baik. Tapi berhubung setiap orang mempunyai perspektif yang beragam dalam merespon sinyal yang diterima, maka ada bagusnya kuceritakan saja. Setidaknya sebisa mungkin dapat dijadikan bahan renungan bersama. Atau lebih jauh lagi, ketika mengalami kasus serupa, sahabat bisa mengambil pencegahan lebih dani dan realistis ketimbang tindakan bodoh seperti yang aku lakukan.

Ada pun kronologi dilema yang menerpaku bermula dari panggilan masuk nomer rahasia yang tidak bisa diterjemahkan handphoneku sebagai deret angka-angka utuh. Aku, yang masih berumur 14 tahun waktu itu, dengan sepenuh rasa keingintahuan, tanpa banyak cincong menekan tergesa tombol berwarna hijau. Satu gerakan ringan yang belakangan kuanggap sebagai kesalahan terbesarku. Karena siapa sangka, asal muasal rasa ekstrim yang menghantuiku sampai ketahun-tahun ke depan itu tak lebih hanya berupa tuts keypad hijau, mingil, berpendar, yang nantinya selalu membuatku berkeringat dingin dikerubungi kecemasan luar biasa ketika mengambil keputusan menerima telepon.
Malam dan derai hujan adalah saksi kunci atas tragedi naas yang menyapaku ketika peranti tansduser yang mengubah sinyal elektrik ke frekwensi audio dengan cara menabuh komponen berbentuk selaput di dinding belakang HP ku digebuk panggilan masuk. Tak ada sebiji angka pun yang tampil di layar LCD. Dirahasiakan; hanya itu yang tertera.

00:00.
Pangilan diteriama, komunikasi terhubung—kesalahan pertamaku.

00:03.
“Hola…,” suara seorang laki-laki di seberang sana menyergap gendang telingaku, mengawali pembicaraan.

Demi hujan yang mengurungku dalam terali air. Sungguh, sudah menjadi tabiat bahwa kaum hawa normal tentu akan lebih cenderung menyukai pembicaraan dengan bani adam. Dan aku, tidak terkecuali, dan tanpa munafik pula, sama dengan remaja putri kebanyakan; selalu diserang suasana ganjil apa bila menerima telepon dari lawan jenis. Terlepas siapa, apa statusnya, dan dari mana asalnya.

“Ya, hola juga,” aku menanggapi, “siapa?”

“Manusia.” Jawabnya garing.

He. Aku ngir-selengiran(2). Awal yang baik untuk sebuah perkenalan.

“Siapa bilang hantu?”

“Kalau benar gimana?”

“Wah, aku tak kan menyesal walau harus berkenalan dengan hantu seperti Sampean (3).”

07:09.
Obroran terus berlanjut.

“Masih sekolah?”

“Tentu. SMPN 2 Bangkalan,” jujurku—kesalahan ke dua.

SR—begitu dia mengaku namanya—banyak bertanya ini dan itu. Semuanya kujawab sama seperti mengisi soal UAS. Akurasi data yang kusampaikan 100% benar. Dijamin tak satu informasi pun yang meleset. Agaknya aku mengamalkan betul ajaran anak solehah untuk selalu berkata jujur. Namun konsekwensi yang kutanggung seolah menjadi bumerang di kemudian hari.

“Ya sudah, lain kali saja disambung. Sudah malam. Aku mau bobok.”

Klik. Komunikasi terputus.

Aku melirik timer panggilan. 54 menit, 41 detik. Lumayan, walau tidak terlalu ‘wah’ jika dibandingkan teman-temanku yang betah berjam-jam. Bahkan sampai ngedrop baterainya. Sering aku berpikir, andai saja dibukukan, mungkin saja bisa menghasilkan semacam cerita enam sampai tujuh lembar kuarto spasi double, font Times New Roman ukuran huruf 12. Luar biasa bukan.

Sesudah perkenalan itu, SR sering menghubungiku. Mirip-mirip aturan pemakaian obat, dia meneleponku tiga kali sehari. Dan aku pun tidak keberatan dengan ulahnya. Entah apa yang dibicarakan. Laut, pasir putih, pasar, matahari terbenam, pasar, toko, baju, parfum, bahkan sampai ukuran sepatu.

Komunikasi kami tidak mandek di HP saja. Hinga di suatu siang—entah kapan detailnya—SR main kesekolah. Kala itu SR tengah menungguku di depan gerbang. Pakaiannya dominasi warna hitam. Kaos oblong gambar tengkorak dipadu celana pensil warna senada. Di kakinya melekat rekayasa produksi sepatu Van Skater Hi. Tahukan sahabat sepatu model abadi itu. Konon, karena gayanya yang baku membuat penghias kaki itu selalu diterima segala zaman. Tentu saja perkembangannya tidak terlepas dari pembajak. Salah satunya yang tengah melekat di kaki SR. Asli plagiat.
Secara perawakan, SR masih seumuran anak SMA atau paling meleset satu dua tahun lebih tua. Rambutnya dipotong mohak, menjulang. Telinga ditindik—mengesankan bahwa dia seorang punker sejati. Mudah bagiku mengenalinya karena sebelumnya telah bertukar foto via MMS.

Untuk beberapa saat aku terlibat pembicaraan dengannya. Ujungnya, SR menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku menolak. Dengan halus kukatakan bahwa sebentar lagi, Pak Mamat, sopir keluargaku, akan menjemput.
“Lain kali saja. Terima kasih.” kalimat itu kuucapkan seolah memberi peluang padanya di lain kesempatan. Dan benar saja. Tiga hari berselang, dengan sedikit memaksa, SR memintaku agar naik di motornya.

“Ayolah, sebentar saja. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” dengan pandangannya, SR membuatku luar biasa berdebar-debar. Apa yang aku rasakan saat itu adalah representasi perasaan remaja putri yang sedang mengalami puberitas. Terlalu dini memang. Tapi efeknya memberiku sebuah sensasi menggebu-gebu. Tanyakanlah kepada siapa saja yang pernah mengalami masa-masa sepertiku. Jadi wajarlah jika kasus pencabulan, pelecehan seksual, dan penculikan anak di bawah umur sering kali menimpa kaumku, seumur ku. Ibaratnya, ke ujung galaksi pun tak kan menolak—amat gampang diperdaya.

Lalu entah bagaimana ceritanya aku telah duduk anggun di jok belakang motor ketika SR melaju dengan kecepatan sedang menyisir alun-alun kota Bangkalan. Terus ke timur, Junok, masuk ke Kecamatan Burneh, jalan raya Ketengan, dan berakhir di belokan sebelah kanan. Waduk Tonjung.

SR merapat di pinggir waduk dekat pintu air yang menganga. Ratusan liter air tumpah ruah. Mendebam serupa gemuruh. Menghempas dan pecah. Berulang-ulang, terus, tiada henti.

Di atas bantaran waduk, di bawah pohon merindang, disaksikan derai sungai, SR kembali membuatku luar biasa berdebar-debar. Semacam daya kejut listrik tegangan tinggi yang menggelinjang melalui aliran darah, aku terkesiap oleh sengatanya, memekik kaget karena kelebat tubuh SR menerkamku tiba-tiba. Cepat, dan dalam hitungan detik telah membuatku terpojok di punggung pohon gayang muda. Dia mencengkramku erat, meminta, ngotot, tidak mau tidak menurut pada kelakianya. Nyata sekali dia mengiginkan sesuatu yang paling berharga pada diriku.

Cukup! Aku tidak bias lebih dari ini.

Maaf, aku menolak! Tapi perlawananku tidak terlalu nyata. SR makin bersemangat.

Ugh, bangsat!

Aku meronta, menghentak, memukul, menendang, menggigit, mengibas, sampai aku letih sendiri. Tak satu perlawananku yang mengena. Agaknya teori kausalitas usaha dan hasil tidak berlaku dalam kasus ini. Tenagaku jelas tak seimbang meladeni tiupan birahi yang meluap-luap di tengkuknya.

Air tumpah meraung, menelan teriakku tanpa peduli sama sekali. Gambaran kenyataan terbentang jelas jika kemungkinan terburuk SR berhasil memperoleh apa yang menjadi tujuannya. Stres melandaku.

Namun, pasrah sama artinya menyerahkan tubuhku secara gratis. Harta pusaka seperti apa pun tidak akan berharga tanpa pengorbanan untuk melindunginya. Dalam sesak dan terpojok, aku menghimpun sisa tenaga. Secara timing yang pas, satu gerakan serta-merta kakiku yang gagal diantisipasi SR, menghantam tepat titik pejantannya. Dia tercecar, mengerang tertahan, tersungkur, mengadu, peri tak ternota.
Berlawanan darinya, di saat yang bersamaan, tampa membuang jeda, aku mencari momentum, melompat kemuka SR lalu melepas tinjuan telak di pipinya.

“Auuuu…….,” tapi yang kurasa justru jari-jarikulah yang remuk. Aku berlari sejauh kakiku membawa pergi.

***

Malamnya aku shock berat, mengurung diri di kamar. Bunda yang memang perasa, membaca gelagatku, tapi aku bungkam mengunci cerita. “Biarlah kutanggung sendiri, aku tidak ingin bunda terbebani,” sederhana pikiranku yang menjadi kesalahan ke-13.
Maka beginilah cara seorang anak yang sok dewasa bertindak.

“Bajingan, akan kulaporkan kau ke polisi.” Gertakku via handphone.

“Jangan macam-macam atau orang tuamu akan menemukan tubuhmu mengambang di waduk tonjung”

“Coba saja!” Pekikku menyulut masalah.

Klik.

Sehari berselang, sepulang sekolah, bersama seorang lelaki sangar, SR menyeretku ke belakang gudang sekolah. Mulutku dibekap, sedang kedua tanganku dipiting. Aku lumpuh. Salah satu lelaki itu berlagak mencurigakan, dan dari balik jaket kulitnya, lelaki itu mengeluarkan benda berkilat. Wajahku pucat seketika, mental breakdown menyerangku karena mendapati pisau terhunus.

Darah hampir bersimbah, putih seragamku pasti memerah basah kalau bukan karena kehadiran gadis sebayaku di TKP. Pandangan gadis itu membeban diarahkan pada ke dua lelaki yang menyekapku. Merasa terganggu, merekan menyudahi aksinya dan pergi meninggalkan tugas yang belum terselesaikan.

Aku melongsorkan tubuhku dengan bersimpuh terkulai. Badanku bergetar menahan takut yang luar biasa, sedang wajahku pias. Tidak acuh, si gadis melenggang pergi seperti tidak pernah terjadi apa pun yang menerpaku, tanpa harap ucapan terima kasih. Namun belum genap enam langkah, ia menoleh. Pandangan itu, selalu dan tetap sama. Nantilah kuceritakan perihal remaja putri itu, sahabat, di bagian kisah setelah ini.

Jika ketakutan terhadap sesuatu dimulai dari stadium terendah, maka sehari kemudian, setelah peristiwa itu, aku jadi takut untuk pergi sekolah. Untuk meminimalisir keadaan tersebut, aku pura-pura demam. Berhari-hari aku cuti sekolah. Tapi ternyata hal tersebut bukan keputusan terbaik yang dapat memberikan rasa aman padaku. Belakangan, justru tinggkat ketakutanku semakin menjadi. Aku baru sadar bahwa tekanan batin yang menyerangku berasal dari makhluk terdekat yang selalu ikut serta dan bersamaku: handphone. Kuberitahu sahabat, disadari atau tidak, ternyata benda kecil itu adalah gerbang masuknya hal-hal buruk yang sering kali kita lupakan. Bayangkan, betapa banyaknya tindak kejahatan yang melibatkan handphone?

Tak habis- habisnya SR mengancam ingin membunuhku. Via SMS tidak terhitung lagi jumlahnya. Dia mengirimiku massage dengan nomor berganti-ganti. Aku tertekan, ketakutan, ketengangan meliputiku. Rasa aman seolah menjadi musuh. Dan tepat ketika handphone-ku berdering mengancam, ditambah kemelut batin yang tidak bisa lagi ditolelir, tanpa panjang berpikir aku meraih HP-ku lalu menghantamkannya ke tembok kamar. Aku menjerit sejadi-jadinya. Tak banyak yang kuingat setelah itu kecuali handphone-ku yang telah hancur menjadi remah-remah.

Keterangan:
(1). Panggilan untuk anak gadis di Madura.
(2). Tersenyum tak karuan.
(3). Anda.

http://fourcebbing.blogspot.com/

Tidak ada komentar: